Dengan Ingatan Terchenta

Dia yang bernama Fatimah
adalah agung yang paling bertakhta
di atas singgahsana asuhan
dalam istana mewah ingatan
mendidik dengan cokmar ilmuwan
hemah dan bijaksana menuturkan kata
untuk kami marhean kerdil
yang baru ingin belajar hidup

Dia yang bernama Fatimah
adalah udara yang kami hirup
untuk melenyapkan segugus gugup
agar kami bisa tenang bernafas
melangkah juang sehabis kemas
berbekalkan kitab pengetahuan
dan bekas-bekas luka degil
sewaktu dipagar iklim jahil
untuk kami marhean kecil
yang baru ingin belajar hidup

Dia yang bernama Fatimah
adalah permaisuri sanjungan kami
doanya akrab di ruang ingatan
pesannya karib di muara kenangan
budinya yang luhur di pohon hati
jasanya subur di akhirat abadi
kan-kami kenangkan sampai musim senja
saat kami marhean comel
yang baru ingin belajar hidup

Dia yang bernama Fatimah
guru yang sarat kasih sayang dan cinta
rimbun dengan budiman dalam bicara
merendang diri bagai tunduk padi berisi
lebat rindu-nya laksana gurun salji
tegasnya padat; keras menegah jelas
mencipta jiwa kami marhean kecil
yang baru ingin belajar hidup

Dia-lah yang bernama Fatimah
sekuntum wardah paling merah
sewangi Az-zahra

Molek Garden
Nov 17, 2010

Nota kaki: Ingatan untuk guru. Pn. Fatimah terchenta.

Pencinta Buku

Seorang pencinta buku, tidak akan pernah membiarkan dirinya terumbang ambing tanpa sebuah buku menemaninya.  Jika cintanya sudah jatuh kepada buku, buku itu tidak akan tinggal sendirian di atas meja ruang tamu atau sepi di atas rak sisi katil atau tersembunyi di dalam dash board keretanya atau membiarkan buku yang belum dibacanya bersahabat dengan buku yang telah dibacanya dalam satu jalur susunan di atas para kayu rak buku.

Seorang pencinta buku, akan selalu bermesra dengan bukunya. Buku itu adalah teman yang paling setia, paling akrab, paling memahami, dan paling bertoleransi dengan dirinya. Kemesraan sang pencinta buku dengan bukunya akan terlihat melalui jelingan dan lirik matanya sewaktu membaca baris-baris tulisan yang tercetak dalam buku itu. Dari kulitnya depannya, jari jemari akan menyelak lembut, dengan penuh sopan pada setiap helaian. Bila sudah sampai di dadanya (baca pertengahan buku), dia akan berhenti sebentar, menarik nafasnya sambil menghirup secangkir kopi yang telah pun sejuk kerana terbiar akibat tekunnya. Lalu dia akan menyambungnya sampai ke kulit yang terakhir.

Setiap patah kata, sang pencinta buku akan membaca melalui hatinya. Lalu terdengarlah bagaikan buku itu sedang berbisik-bisik dengannya. Jika patah kata itu lucu, dia akan tersenyum sendiri. Jika baris ayatnya sedih, wajahnya akan muram bagaikan merasai kesedihan itu.

Jika ceritanya dicoret bosan, sang pencinta buku itu akan menutup mulutnya yang menguap dan matanya akan  terlihat kuyu. Jika isinya suspen, dia akan merenung tajam setiap helaian dan dadanya akan berkocak kencang ingin tahu bagaikan membuka sebuah kotak yang tidak tahu apa isi dalamnya. Jika buku itu menggoda, dia akan bersabar dan semakin perlahan membacanya dan tidak akan membiarkan dirinya tewas melangkau laju atau meninggalkan mana-mana catitan dari senaskah buku itu.

Saya sendiri masih belum boleh menjadi seorang pencinta buku, malah seorang perindu pun belum layak lagi. Saya hanyalah seorang penggemar, yang bila saya gemar saya akan ambil, tetapi jika kegemaran saya lesap, lekas pula saya melupakan. Bukanlah ini sifat seorang pencinta.

Tuan Direktur- Hamka

Kehidupan ini terasa sangatlah istimewa andai selalu dicurah dengan pesan dan peringatan, biarpun cuma sepatah kata yang kita sendiri tahu nilainya lebih dari emas dan permata . Sebenarnya, nasihat itu sendiri ialah intan dan berlian bagi orang-orang yang terpicing mata melihat kilauannya. Jika kita dinasihati, tandanya kita ini masih diingati, prihatin mereka tidak membiarkan kita memilih salah simpang dalam meneroka lorong-lorong kehidupan atau tersesat tanpa haluan dan tuju. Kerana nasihat-nasihat yang berguna dapat kelak kita pakai buat penunjuk arah di jalan yang bersimpang siur.

Ya, naskah ini begitu membujuk nurani manusiawi untuk insaf dan tunduk melihat keghairahan insani dalam kerakusannya melombong keduniaan. Pak Jazuli, tuan direktur muda yang ego membusung dada kerana berlambak hartanya, mahsyur kenalannya, dan perusahaannya yang maju ke depan begitu mula melupakan daratan yang satu ketika dia pernah menempuhnya, setelah dia dapat memegang tongkat kuasawan dalam kalungan mahsyur bergelar niagawan. Dia lupakan sepuluh tahun lepas dia telah datang ke Kota surabaya ini dengan tangan yang kosong tetapi membawa hatinya yang keras. Dalam hati itu disematkan semangat waja untuk berjaya lalu tuhan permudahkan jalan untuknya menawan gunung kejayaan yang selalu diidam-idamkan.

Di puncak emas itu, Pak Jazuli memandang kerdil orang-orang di bawahnya. Dia hanya boleh ditegur dengan kata puji dan sanjung yang bukan datang dari keikhlasan hati, tapi kerana rupiah dalam dompetnya. Nasihat dan ingatan yang luhur dan jujur sudah tidak masuk ke dalam pendengarannya apatah lagi untuk berlabuh dalam sukmanya. Perlahan-lahan perhubungannya dengan kenalan-kenalan yang tulus menasihatinya mulai renggang, mudur dan terputus seperti Haji Nawawi, sahabat perantaunya yang sedesa.

Margono dan Haji Samin, dua orang yang selalu meneteskan air liur tatkala melihat kekayaan Tuan Direktur, berlakon bagaikan anjing yang kononnya garang tetapi bacul. Anjing itu hanya akan menyalak-nyalak untuk meminta tulang, setelah diberi ia akan menyalak meminta lagi dan lagi. Namun bila datang kesusahan, ia akan segera cabut.

Selain itu, Pak Jazuli yang kononnya tokoh korporat moden mencemuh peniaga-peniaga yang suka meramal nasib untung rugi bisnesnya dengan kepercayaan-kepercayaan khurafat tetapi dalam masa yang sama tuan direktur itu sekali ikut terjebak ke lorongan tahyul kerana menanam yakin pada pesan-pesan Kadri, penolongnya yang konon berdamping dengan orang ghaib yang selalu menasihati Pak Jazuli demi matahari masa depannya.

Bila mana seorang hartawan itu mula menimbang dengan dacing untung atau rugi ikut jarum emosinya, nescaya terlesaplah pula timbangannya yang boleh mengadilkan sebab musabab untung atau rugi itu. Maka, keputusan seperti itu memberatkan dacing untuk duduk tidak seimbang dan tersenget sebelah dipenuhi batu-batu kenagkuhan dan kezaliman. Tanpa belas, Pak Jazuli menghalau Fauzi, seorang anak muda yang pernah dirayunya suatu tika dahulu untuk membangunkan bersama perusahaannya.

Fauzi tidak mudah keletah setelah dia dihalau dari kantor Pak Jazuli, cuma dia sedikt sebal dengan sikap tinggi diri bekas majikannya. Peristiwa yang seberkas susahnya itu, rupanya mengandungi setelaga hikmah. Fauzi mula mengakrabkan dirinya bersama Pak Yasin. Seorang tua yang penuh pengalaman, teguh pohon keimanannya, rimbun kecerdikannya, dan lebat pula buah pendapatnya yang selalu ranum dan lazat. setiap kata-katanya adalah hikmat dan semangat. Setiap tegurannya adalah saranan yang sarat petunjuk dan ingatan.

Tuan Direktur ialah sebuah naskah yang ringan tetapi berat dengan pesan. Iktibarnya lemak-lemak santan yang menyusupi segenap deria jiwa. Setiap faedah dan amaran dari cerita atau katanya halus melekat di ruang sanubari mengajak kita mensempadani atau menaledani. Ingatkan pesan panjang ini, yang menikam kelobaan kita untuk mencari dan terus mencari sampai tidak tahu berhenti.

“Wang itu barang bundar, ertinya boleh bergulung, sebab ingatlah bahawa ia bukan kepentingan yang pertama. Saya takut Fauzi, kalau hanya sekiranya wang yang engkau cari, anak! Padahal beberapa perkara yang lebih mahal daripada wang engkau lupakan. Engkau lupakan budi pahal di atasnyalah tertegak kemanusiaanmu; engkau lupakan agama padahal dengan itulah engkau berbahtera ke akhirat; engkau lupakan temanmu, padahal dalam hidup ini engkau tak , sanggup tegak sendiri. Sehingga itu engkau hargakan harta lebih dari harganya, ibarat barang serupiah engkau beli seringgit.”

Demam

Saya menekapkan kura tangan di bahagian leher. Kemudian saya sengaja menelengkan leher ke bawah, biar kura tangan saya itu betul-betul melekap dengan kulit leher. Suhu di dalam badan terus menyerap ke dalam deria-deria rasa di kura tangan.

Ternyata. Saya jadi mudah sejuk apabila dianginkan oleh kipas siling di dalam kelas kecil ini. Hidung saya berair meleleh-leleh tanpa dapat dikawal saya. Sesungguhnya saya sudah mendapatkan simptom-simptom demam. Tumpuan saya kepada guru yang mengajar di depan sudah hilang entah ke mana. Matahari pagi semakin naik ke langit. Ya, kalau Tuk Andak memanggilnya ‘matahari dhuha’. Andrenalin-andrenalin yang entah apa  di dalam tubuh mula meliar bergerak bebas sesuka-hati. Saya sudah tidak tertahankan. Rasa tidak selesa, tidak tenteram dengan suasana di dalam kelas kecil ini memberontak di dalam jiwa saya. Saya ingin lekas keluar!

Suara guru yang nyaring mengajar di depan kelas jadi terhenti pabila dia melihat saya mengangkat tangan. Kelas pun jadi senyap dan sunyi. Semua mata terpaku ke arah saya.Saya bangun perlahan dan lemah, mendorong kerusi kayu yang diperbuat daripada kayu getah itu. Ia teranjak ke belakang sedikit.

“Excuse me teacher, may i go to toilet, please?” pinta saya dengan kerongkong yang sakit. Perit.

Dia memberi permisi dengan menganggukkan sedikit kepalanya ke bawah. Dia seorang guru wanita yang muda, dia memakai tudung tapi menampakkan anak rambutnya dan tudungnya itu diikat dibawah dagu. Memamerkan seruas lehernya yang jinjang dan putih. Saya menapak keluar dari kelas. Guru itu kembali menyambung pelajaran dengan suara yang nyaring tetapi suara itu tertinggal di belakang saya. Sudah tidak saya hiraukan lagi.

Saya melapangkan mata ke tengah padang rumput yang bercampur rona hijau dan cokelat. Yang hijau tandanya rumput itu masih hidup bernafas dan yang cokelat itu tandanya sudah kering, layu dan gering. Matahari pagi yang baru hendak mula panas menyilau terang. Ketika ini saya sedang berdiri di bawah pohon ketapang yang sebesar dua pemeluk orang dewasa. Pokok itu cukup besar dan permai bagi seorang kanak-kanak kecil yang bersaiz seperti saya. Daunnya rimbun dan lebat. Sesekali apabila angin tanpa sengaja bertiup deras, daun-daun yang gering di hujung rantingnya pun jatuh. Melayang-layang ke tanah kerikil yang keras.

Berdekatan pohon ketapang itu, ada sebuah stor usang yang dijadikan oleh pihak sekolah untuk menghumbankan kerusi dan meja-meja belajar yang buruk dan tidak digunakan lagi. Di dalamnya berselerakan dengan puluhan meja dan kerusi kayu yang sudah rosak. Ada yang kaki mejanya patah, ada kerusi yang tercabut papan yang menjadi alas duduk, ada meja yang permukaannya sudah terpiuh pakunya lalu ia gelong tidak tegap lagi. Ada berbagai-bagai lagi.

Saya menekapkan kura tangan di bahagian leher. Kemudian saya sengaja menelengkan leher ke bawah, biar kura tangan saya itu betul-betul melekap dengan kulit leher. Suhu di dalam badan terus menyerap ke dalam deria-deria rasa di kura tangan.Ternyata. Saya jadi mudah sejuk apabila angin di padang ini bertiup kuat. Hidung saya berair meleleh-leleh tanpa dapat dikawal saya. Sesungguhnya saya sudah mendapatkan simptom-simptom demam.

Saya melangkah ke pinggir padang, menjauhi salah satu cabang pohon ketapang yang rimbun yang tadi jadi tempat saya berteduh. Membiarkan diri dimamah matahari pagi yang baru hendak mula panas terasalah nikmat alam itu sangat membahagiakan. Sampai sekarang saya terkenang-kenang walau terpaksa berbohong dengan seorang guru.

Dunia Magika

Saya belum sempat menonton filem Magika, namun apa yang saya dengar dari kata thriller-nya “Tiada yang mustahil dalam Magika kalau kita berimaginasi”.

Kata-kata beginilah yang selalu menyentap spirit saya. Membuatkan saya mula berhalusinasi, tentang kehidupan realiti yang dilalui hari-hari. Mungkin jika ditambah sedikit imaginasi di situ sini tak mustahil plot ceritanya jadi mantap dan enak. Ha ha ha. Saya sudah mula berkahyalan. (Sambil kelopak mata tertutup redup).

Pagi itu, sebelum masuk ke pejabat, saya terserempak dengan si ‘kancil’. Dia menegur saya ketika saya dalam keadaan tergesa-gesa.

Si ‘kancil’ cumalah insan yang kerdil jika mahu dibandingkan dengan watak yang saya pegang di dalam dunia magika ini. Sila tidak berprasangka yang saya adalah orang yang meninggi diri. Tidak.

Akibat teguran dari si’kancil’ makanya saya memberhentikan perjalanan. Simbolik menghormati sesama warga di dunia magika.

Stop” arah saya pada safety boot yang bersayap.

Lalu sepasang safety boot yang bersayap saya sarungkan sebagai sepatu itu menurunkan saya yang terawangan 3 inchi dari tanah dengan perlahan-lahan.

“Kenapa si ‘kancil’?” kata saya sambil duduk mencangkung mengikat tali kasut safety boot yang longgar.

“Nggak ada apa-apa mas, ini ada barang mahu dicari. Tapi tak jumpa-jumpa sih” bicara si ‘kancil’ dengan slanga orang seberang. Lalu si ‘kancil’ menunjukkan sehelai kertas yang sudah buruk dan bergumpal-gumpal kepada saya. Kertasnya kusam kekuning-kuningan.

“Bak sini” saya meminta sopan. Kertas kusam kekuning-kuningan itu bertukar tangan.

Mentafsirnya sekilas lalu membuatkan saya berkerut dahi. Bermacam-macam tabir rahsia terbuka di kepala saya. Dunia Magika ini penuh dengan sejuta misteri, yang dicari bukan apa yang tersurat, tetapi apa yang sebenarnya tersirat.

Kalau ditulis epal kuning berbuah-buah, sebenarnya ialah minyak grease berwarna pear emas yang bertakung di hujung lorong mesin raksasa milik ‘Datuk Tikus Misai’. Epal itu hanyalah kata sandarnya sahaja sedangkan warna emas-lah kata maksudnya. Emas-lah yang selalu berwarna kuning.

Kalau dikata dawai pengikat seribu dewa, sebenarnya ialah tali poli-propelyne yang dibuat dari daun pohon cemara jantan yang tidak berbunga yang baru berpucuk sehari.

Kalau disebut jalan simpang tekpi berapi, ia merujuk kepada sebatang jalan yang bercabang tiga dihujung selekoh rumah Cikgu Pendita. Tekpi itu cuma jadi simbol kepada jalan yang bercabang itu. Sedangkan api ialah menandakan jalan itu telah digazetkan oleh Cikgu Pendita sebagai jalan persendirian. Kalau mahu guna silakan bayar duit tol.

Macam-macam hal. Kalau ada orang baru yang tercampak di dunia magika ini dengan ilmu yang kurang apatah lagi pengalaman pun dangkal, memang susah untuk mereka survive. Kecekalan hatilah yang menjadi peran utama untuk meneruskan kelangsungan hidup di dalam dunia magika ini.

Saya masih mengurut-urut dahi, bingung memikirkan ayat penyata yang tercetak di helaian kertas kusam kekuning-kuningan yang dihulurkan oleh si ‘kancil’ tadi.

Si ‘kancil’ pun saya lihat telah duduk bersimpuh di atas jerami halus yang telah disulam menjadi hamparan di dunia magika. Mungkin menunggu terlalu lama kata-kata dari saya.

Di mata si ‘kancil’ yang bulat seperti bola guli itu, bersinarlah harapan yang mengharapkan saya mampu membantunya menafsirkan tentang apa yang sedang dicarinya.

Saya menyeluk poket seluar belakang bahagian kiri lalu saya mengeluarkan sebuah kitab yang telah saya karang sendiri iaitu “Pengalaman Membuka Tabir Rahsia Magika Vol-I”.

Kitab ini adalah catatan sejarah saya sepanjang saya hidup tercampak di dunia magika. Setiap detik pengalaman dan jenis cerita perjalanan saya di dunia magika semuanya saya catitkan di kitab ini.

Suatu masa nanti dipemergian saya, amatlah saya berharap dapat mewariskan kitab ini kepada keturunan saya sendiri. Semoga mereka mendapat manfaat dari pengalaman dan rahsia tabir magika yang pernah saya buka. Semoga sejahtera mereka belajar.

Puas menyelak satu-satu lembar. Tiba-tiba saya separa menjerit.

“Ha..!” si kancil yang tersengguk-sengguk di hamparan jerami tersentak. Segera si ‘kancil’ berlari mendapatkan saya.

“Udah dijumpa ya mas?” Soalnya galak, matanya bersinar cemerlang.

“Barang yang kau cari ini tidak ada disini” kata saya jujur kepada si ‘kancil’. Si ‘kancil’ membungkamkan wajah hampa.

“Tapi barang itu ada di ladang Giant orang kerdil, kau mintalah pertolongan pada Sotong Muda atau Burung Haji Yak-Yak untuk membawa kau sampai ke sana. Semoga berhasil pencarian kau wahai si ‘kancil'” kata-kata saya yang seterusnya mengubah wajah si ‘kancil’. Senyuman pun terlukislah dibibir si ‘kancil’ yang kecil molek itu.

Ucapan terima kasih tidak putus-putus dilaungkan oleh si ‘kancil’ kepada saya. Barang itu mesti dicari dan ditemukan oleh si ‘kancil’, jika tidak si ‘kancil’ akan disembelih lalu dipanggang untuk dijadikan santapan malam oleh tuannya, Raja Aklaken yang tidak berhati perut.

Raja Aklaken ialah pemerintah yang memerintah dunia magika ini. Namun kuasanya terhad kepada sebahagian dunia magika sahaja.

Melihat si ‘kancil’ sudah jauh pergi di pandangan mata saya. Hati saya sayu. Maafkan saya si ‘kancil’. Apa yang saya beritahu tadi sebenarnya tidak wujud sama sekali. Sengaja saya mereka-reka cerita supaya harapan si ‘kancil’ tidak saya musnahkan walaupun saya terpaksa berbohong.

Dunia magika tidak akan pernah sanggup menghancurkan harapan sesiapa pun.

Tanpa Sedar Kita

Saya terdetik, hari ini negara kita dikejutkan dengan satu tragedi kemalangan yang dahsyat. Beberapa jiwa kehilangan nyawa. Beberapa jiwa lagi sedang parah di atas katil-katil hospital. Entah berapa ramai ahli keluarga yang sedang menumpahkan air mata lantaran peritiwa sedih ini. Tragedi yang ngeri ini merupakan satu sejarah hitam yang terlakar lagi di atas sejarah kemalangan jalan raya di negara kita.  Sungguh menyayat hati.

Dalam waktu yang sama, kita sendiri menjadi heboh, kepoh. Peristiwa tragik yang berlaku jauh dari kita, kalau menurut akal yang sempurna kita sendiri tidak mahu ia terjadi, apalagi jika menimpa ke atas diri sendiri tentulah ia akan terkenang sebagai fobia dan tak sanggup kita hadapi.

Namun begitu, pada hari ini begitu ramai di antara kita yang ingin membongkarnya. Seolah-olah mahu menyaksikan tragedi itu di depan mata kepala sendiri. Makanya dalam zaman yang serba ber-teknologi, perkongsian di alam maya memungkinkan segalanya.

Kedahsyatan kemalangan itu kini terhidang di depan mata. Kita lihat sendiri darah pekat merah yang basah tertumpah. Kita lihat sendiri tubuh yang berkecai terburai. Kita lihat sendiri tubuh badan yang bergelimpangan bertabur di atas jalan. Tanpa ada sekatan. Seolah-olah kita menyaksikan sendiri tragedi itu di depan mata. Fresh dan asli.

Sebenarnya, kita semakin hairan dengan perilaku dan norma yang ada dalam segelintir masyarakat kita. Kita tertanya-tanya, ketika tragedi yang maha petaka itu berlaku, masih ada segelintir kita yang sempat merakamkan video, atau gambar kemudian menyebarkan sesuatu yang kita rasakan tidak patut dikongsikan dengan masyarakat umum. Terlalu umum.

Ketika mangsa-mangsa yang masih bertarung untuk hidup dan mati, mengharapkan pertolongan dan simpati, ada insan yang masih punya ruang untuk merakamkan tragedi. Benar-benar saya tidak faham.

Kalau yang merakam dan mengongsikan itu ialah ahli berita atau seumpamanya, sesungguhnya saya percaya atas tanggungjawabnya dan pekerjaannya. Kalau disiarkankan pun pasti berhemah dan bertapis. Tidak menyiarkan secara telanjang keadaan  mangsa-mangsa yang telah terputus terburai jasadnya. Paling-paling horor pun setelah ditutupi. Itulah kredebiliti media dalam menyiarkan maklumat. Berhemah dan bertapis.

Biarpun begitu, perkongsian siber yang cukup luas tanpa batasan ini, membolehkan sesiapa pun untuk menjadi seorang ‘kamera’man yang bertindak sebagai pelopor untuk menyiarkan sesuatu berita yang fresh dan asli, tanpa etika dan akhlak kewartawanan. Lalu ia dikongsikan bersama orang awam di alam maya.

Kita berfikir sejenak, adakah ini sudah menjadi trend?

Seseungguhnya jika ia berlaku di depan mata kita, kita tidak akan pernah sanggup untuk menatapnya lebih lama seperti yang kita tonton di atas skrin komputer. Berulang-ulang kali. Jikalau jiwa kita kental sekalipun, mungkin kita sedang menghulurkan tenaga membantu. Jikalau jiwa kita lemah pada waktu itu, kita akan terkesima dan tak mungkin dapat betah lebih lama di tempat kejadian. Apalagi merakamkan video dan gambar!

Sejujurnya, saya mengutuk tindakan mereka yang masih sanggup merakam video ngeri ini lalu menyebarkannya tanpa tapisan! Satu tindakan yang tidak beretika dan tidak bertanggungjawab! Hasilnya, kita akan tercari-cari gambar dan video yang lebih terbuka dari apa yang telah dikatup media massa. Seolah-olah kita ini masih belum cukup untuk menitipkan simpati dan belas kasihan dengan sumber media yang sedia ada. Kita mencari alternatif yang lebih horor dan ngeri untuk mendatangkan impak terhadap hati kita untuk lebih jadi terkesan, simpati, kasihan dan memberikan pengalaman.

Justeru itu, sesiapa yang sedang berkongsikan pada waktu ini, pada hemat saya removekan-lah yang mana tidak patut. Terutama video mangsa-mangsa kemalangan dan gambar-gambar yang sememangnya tidak sanggup kita tontoni pada aras kewarasan akal. Bukan kerana takut atau loya atau lemah semangat, tetapi atas dasar menghormati kita sesama manusia.

Saya berkongsikan pandangan yang lebih dahulu disampaikan oleh seorang pendakwah dalam entrinya beberapa minggu sebelum kejadian. Moga kita selami selaut iktibar.

Schadenfreude: Menikmati Sebuah Rakaman Penderitaan

Cinta itu ibarat bola.

Tanya seorang kawan, “Kau tahu cinta itu seperti apa?” Kami tiga orang ini tidak menyahut pertanyaannya. Mata kami terpaku pada skrin nipis yang lebar, sedang memuntahkan cahayanya yang terang dari Stamford Bridge sana.

Dia bersandar malas pada kerusi kayu yang tegap sambil menghirup secangkir kopi hitam. “Syruupp” Hirupnya berbunyi perlahan. Kopi hitam itu tidak kelihatan luak sedikit pun.

Acara sepak mula berlangsung. Yang kedengaran cuma sorakan penonton di dalam kaca atau skrin leper itu. Kami di hujung sini sepi. Kami betul-betul menikmati acara perlawanan yang bakal mencatat sejarah ini. Begitu mengikut naratif kami di awal pertemuan ini.

“Nampaknya Fabregas, Van Persie, Bendtner dan Walcott tak main. Sesuai ramalan aku” Nan Cina tersenyum sinis.

“Nampaknya lebih mudah. Ha ha ha.” Ketawa Zul Setan menikam perasaan.

“Belum tentu lagi kawan” Saya sekadar membalas basa-basi tanpa mahu menaruh harapan tinggi.

Minit ke-dua dari masa permulaan, Sagna melencongkan bola ke tengah kawasan kotak penalti, Chamakh melayangkan badannya ke udara, tandukannya tidak kemas menyebabkan bola off target ke sipi kanan tiang gol. Tinggal lagi beberapa inci sahaja. Peluang pertama yang terlepas.

Separuh penonton dalam kedai menghelakan nafas kecewa panjang.

“Cinta itu seperti bola. Kalian percaya?” kawan saya yang seorang ini terus menyambung bicaranya.

Mata kami terus terpaku ke skrin yang nipis dan lebar digantung beberapa kaki tinggi dari lantai. Sekali sekala kami menyuakan cangkir minuman panas ke hujung bibir. Panas sepanas kehangatan perlawanan malam ini.

Kelihatannya pasukan lawan segera bangkit dari serangan yang pertama. Hantaran jauh ke tepi padang membawa bola ke kaki pemain yang berasal dari Ivory Coast, Drogba. Kawalan bolanya kemas. Beberapa pemain pertahanan Arsenal yang usianya masih muda digelecek Drogba. Satu lepas, dua lepas. Bola ditolak perlahan dari kaki pemain pertahanan lawan demi mencari sedikit ruang.

Keadaan di dalam kotak penalti jadi cemas dan kucar-kacir. Drogba menendang bola ke arah gawang. Namun dapat dihalang pantas oleh Song, pemain pertahanan muda Arsenal.

Walaupun begitu, bola melantun pula ke kaki pemain Chelsea Florant Malouda, sepakannya yang terburu-buru menyebabkan bola tersasar jauh ke atas palang.

“Seni cinta seperti bola itu hanya difahami oleh kaki yang berbakat. Lihat bola itu digelek-gelek kemas. Memperdayakan. Menghiburkan” Kawan saya yang seorang ini terus tenggelam dalam falsafahnya yang berat. Kami masih tidak tidak begitu mempedulikan biacaranya. Kami tenggelam dalam acara yang sedang berlangsung.

Minit ke-lapan hingga ke hujung separuh masa pertama serangan bertali arus. Hantaran bola tinggi dipotong Arshavin lalu merembat deras ke arah penjaga gol Chelsea, Peter Cech. Tangkapan yang mudah bagi penjaga gol berbakat itu.

Seterusnya Chesea cuba mencari rentak dan penyudah untuk membolosi pertahanan Arsenal. Tendangan lencong Malouda membawa bola ke arah Michael Essien yang tidak dikawal. Tandukan lajunya tertuju ke penjuru gawang Arsenal dalam jarak delapan kaki. Namun tersasar sedikit. Hampa.

“Seperti bola, ia selalu direbut-rebut. Yang memilikinya akan dikejar bagai nak rak oleh yang lain. Cemburu” kami masih senyap. Menonton dengan tekun.

Analisis-analisis yang keluar berbaris dari kaca tv itu kami baca dengan hemah. Mengutip fakta-fakta dan teori bola agar tekaan kami sekurang-kurangnya menepati ramalan.

Enam minit sebelum selesai separuh masa pertama, Ramires melorongkan bola ke arah Cole yang bebas di sebelah kiri. Cole dengan pantas membuat hantaran silang yang rendah ke arah Drogba yang meluru berhampiran gawang.

Bola yang di lorongkan tertinggal di belakang Drogba namun sempat dikuisnya sebelum melepaskan rembatan deras ke arah pintu gawang. Bola meleret masuk, selesa ke dalam jaring.

Teriakan penyokong ‘The Blues’ bergema. Di Stamford Bridge atau di sini. Nan Cina dan zul Setan bersorakan. Nan Cina melapangkan tapak tangannya ke arah Zul Setan. Zul Setan menemukan tapak tangannya dengan tapak tangan Nan Cina. Simbol Gimme five!

Saya jadi meluat. Perasaan saya hilang sambil meruap wajah dengan tapak tangan. Tercabar!

“Kan aku dah bilang, cinta itu seperti bola, walau kau tendang berapa jauh sekali pun, akhirnya kau kena kutip”. Rakan saya yang seorang ini menyampuk dalam kekecohan suasana.

Saya terus menjerit.

“Mamak, kira sini!!”

Previous Older Entries